Wednesday, January 23, 2013

Deuxieme




"Kau tak apa ? bisa ku bantu membereskan kertas kertas mu ? " tanyaku pada perempuan kecil yang kutaksir seusia denganku. Matanya biru, rambutnya kehitaman, dan baru saja jatuh beberapa meter di depanku. Tampaknya ia malu sekali terjatuh di depan lelaki. Aku berlari, mencoba berbaik hati membantunya untuk berdiri, tapi ia sudah berdiri saat aku menghampirinya. Aku kira dia seumuran dengan gadis remaja di sekitaran Römmerplatz ini. Tapi dugaanku salah. Wajahnya menggambarkan perempuan dewasa yang memiliki aura anggun khas wanita timur tengah.

"Terimakasih," ujarnya sembari tersenyum. 

Aku pun bergegas mengumpulkan kertas kertas berceceran. Ada kertas coretan yang kupikir itu tugas kuliahnya. Dengan sigap aku menumpulkannya sebelum terbawa angin dan basah terkena salju. Musim peralihan seperti ini angin bertiup terlalu kencang dan agak menyulitkanku memungut kertas kertasnya. Aku berlarian seperti anak kecil.Sementara ia tertawa tawa kecil melihatku berkejaran dengan lembaran tugas tugasnya.

"Ini sudah, tampaknya banyak sekali."

"Ah, tidak. ini hanya kumpulan tugas kuliah dari Profesor."

"Oh ya ? kuliah di sini juga ?" aku menyebutkan universitasku.

"Iya, benar. Aku sudah 5 semester kuliah di jurusan Hukum di sini," ujarnya sambil menceritakan tentang tugas nya sebelum memasuki masa penjurusan dan ujian akhir.

"Oiya, aku Farkha. Panggil saja Farkha," ujarnya memperkenalkan diri. Aku tak kesulitan mengeja namanya. Farkha, aku coba memanggilnya dengan dialek ala Maroko yang aku sering tirukan dari temanku.

"Seno," ujarku singkat. Aku tahu dia bakal mempertanyakan namaku lagi dan menebak asalku.

"Apa ? Zenou ?"

"Bukan, kau salah menyebutnya. Coba kau sebutkan dengan huruf S, bukan dengan huruf Z. Semudah itu. "

"Seno. Ok, baiklah." ia tertawa kecil menanggapi kesalahannya. "Nama yang lucu. Kau pasti berasal dari salah satu negara asia."

"Benarkah ? "aku mempertanyakan dugaannya, meski itu benar.

"Mmmmmm, Jepang ? Thailand ?"

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar tebakannya.

"Indonesia," jawabku pasti. Dia pasti tahu negaraku. Pasti.

"Kuala Lumpur ?"

"Bukan bukan. Itu Malaysia. Kami memang mirip karena satu rumpun. Tapi jelas berbeda," jawabku pasti. Aku masih saja memilik sifat antipati mendengar nama negara satu ini, padahal itu murni bukan kesalahan mereka. Kali ini ia hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Mungkin ia sendiri masih tak tahu bedanya apa.

" Ok, baiklah orang asia," ujarnya sambil tersenyum sampai terlihat giginya.

"Kau seharusnya ikut menertawakanku saat jatuh tadi, seperti yang lain." ujarnya sambil tak memandang wajahku.Tampaknya ia mulai tak canggung lagi untuk menegurku.

"Tidak, itu bukan kebiasaanku,' jawabku sambil menunjukkan wajah ramah khas asiaku ke dirinya. ia hanya menganggapi dengan tersenyum lagi. Kami tampak seperti kekasih yang canggung saat pertama kali bertemu, berdiri di Römmerplatz dan berhadap hadapan tepat selemparan batu dari patung putri kekaisaran Weimarer. Burung dara tak mau berhenti berlarian, dan  tampaknya mereka berevolusi dari terbang menjadi berlarian karena banyaknya makanan yang tersedia di lapangan ini. Mirip kisah di teori evolusi Charles Darwin.


"Kau mau es krim ? " tanyanya sambil menunjukkan kedai Haagen Dazs.


"Tentu saja aku tak menolaknya," ujarku sambil tetap mempertahankan wajah ramah dan ia mengajakku menuju ke salah satau kedai es krim di pojokan Römmerplatz. Kami tertawa.


"Kamu tahu, ini pertama kalinya aku menikmati es krim dengan orang asing."


" Iyakah ? " aku menanggapinya dengan serius. Agak terkejut dengan ucapannya.


"Dan aku merasa orangnya penuh misteri."

(bersambung)









No comments:

Post a Comment