Sunday, December 30, 2012

Perempuan penghuni deta tepi lautan 2



Ini adalah tulisan keduaku untukmu, perempuan penghuni delta tepi lautanku. 
Yang bermata hitam kehijauan, selalu menunduk tak tentu arah saat titik pandang mata kita berimpit, membentuk garis lurus sempurna yang tak bisa dilihat, namun bisa kurasakan hati yang tak keruan dan peluh yang tiba tiba bercucuran. Aneh bukan? 
padahal jarak di antara kita bukan jarak ilusi, hanya beberapa inci dan kau bisa menatap lekat lesung pipiku yang memerah, yang tak bisa lagi kusembunyikan dengan senyum pura pura atau wajah tak acuhku, seperti biasa. Tapi kau dengan mudahnya berlalu, seolah tak ada apapun yang terjadi, dan dunia mulai bergerak lagi berpadu pada hukumnya sendiri.

Ini adalah tulisan keduaku untukmu, perempuan penghuni delta tepi lautanku.Bukan, bukan berarti aku menyerah dan takluk berlutut di depanmu. Ini hanya pembahasan awal dari sejarah panjang yang mungkin berlangsung tak kenal waktu.  Bukan awal yang berakhir, tetapi hanya sebuah cerita yang mungkin bisa berganti alur, tokoh dan latar belakang. Kau tak tahu kan, aku tiap malam menulis sajak yang kurasa tak menyentuh, aku buang, lalu ku tulis lagi, dan tak ada yang mempesona, menurutku. Aku acuhkan, tapi senyum bisumu bisa membuatku tertawa tawa sendirian di kamar, kelas, bahkan di tepian sungai saat aku berjalan gontai pulang. 

Ini adalah tulisan keduaku untukmu, perempuan penghuni delta tepi lautanku. Bukan, bukan untuk mendekat atau menjauhimu karena laut di antara kita terlalu kuat ombaknya. Aku memang tak bisa berlayar dengan biduk sekecil ini. Aku butuh perahu kayu dewandaru terkuat yang hanya dimiliki orang orangmu. Padahal cuma ini, yang kuharapkan sampai di tepian pantai mu, dan kuharap kau membaca ini, meski kupikir ini tak mungkin lagi. 


Ini adalah tulisan keduaku untukmu, perempuan penghuni delta lautanku. Bukan, bukan untuk mengharap di luar pembicaraan kita senja itu. Hanya ini, bagian dari doaku untukmu, untukkku, dan semesta yang merestui kita 



Giessen, untukmu hari ini dan seterusnya

Monday, December 24, 2012

Arisouka.






"Dunia selalu berbeda," katamu sore itu. "Dunia tak pernah bisa kau tinggali dalam dimensi ruang dan waktu yang sama bersama orang lain. Hanya kamu yang bisa memastikan dimensi mu tepat diantara persinggungan waktu dan ruang milikmu sendiri."


"Lantas, menurutmu kita juga memiliki dimensi yang berbeda, tapi mengapa saat ini dimensi kita sama ?" tanyaku dengan polos padamu sore itu.


"Lantas, mengapa dimensi kita sama katamu," jawabmu sembari memandang sepele padaku. "Aku tak pernah bilang dimensi kita saat ini sama, hanya pemikiranmu saja yang beranggapan seperti itu. Menuruku kita tak sedang bersama saat ini, pandanganmu jelas tak bisa memperkirakan kan, kalau aku saat ini sedang bersama "yang lain"."

"Apa maksudmu dengan yang lain ?" tanyaku penuh selidik.


Ku pandangi sekelilingku dan kupastikan saat ini hanya ada aku dan kamu. Ada beberapa kupu kupu dan semut yang menghabisi sisa gula gula pemberian ibu mu tadi, dan itu jelas bukan yang kau maksud dengan  "yang lain".


" Dengan dia, yang dari aku lahir selalu memenuhi dimensiku. Suatu saat, dia akan mengakhiri kekonsistensian diriku dan membawaku ke dalam dunia yang berfusi menjadi satu, saat aku tinggal di sebuah dimensi yang terdiri dari ruang dan waktu."


" Dengan dia, yang suatu saat nanti pasti datang, mungkin saat kau sedang asyik menuangkan teh hangatmu atau menulis cerita hidupmu, atau mungkin saat kau bersujud menyembah Tuhanmu. Entah Tuhan apa yang kau sembah saat itu, dia yang akan memisahkan perbedaan dimensimu dan dimensi Tuhanmu menjadi satu lagi."

" Tuhanku satu," jawabku serius. Kali ini aku benar benar tak mengerti arah pembicaraannya.

Kau hanya terkekeh pelan dan seolah tak peduli dengan kataku barusan. "Mari kita berdoa, agar sampai kapanpun Tuhanmu tetap satu."


Aku bergidik. Tak kusangka dia berkata seperti itu.


"Sebenarnya apa yang kau cari selama ini ?" tanyamu padaku. "Kebenaran ? kebenaran yang seperti apa yang kau cari lagi. Tuhanmu sudah berkata dengan jelas di dua buku yang harus menjadi dasarmu sampai dimensi itu datang. Tugasmu hanya nurut dan mengerti. Bukankan alam ini sudah begitu mencintaimu, sudah sudi memberikan unsur hara yang menjadi santapan enak, yang kau makan tiap hari. Sudah mengatur perjalanan angin dari selatan ke utara, mempertemukan arus panas dan dingin agar kau mudah menemukan ikan yang bisa kau jual dan belikan pakaian untuk keluargamu. Sudah menjanjikan keteraturan lintasan bumi dan jaraknya dengan Mars tak pernah beranomali yang mengguncangkan tanah tanahmu. Sudah mengatur berapa decible suara yang bisa menina bobokan dirimu di malam hari. Sudah mengatur aliran darahmu agar tak ber pH melebihi Sianida dan menjadikannya  sangat cair dan bisa mengalir lancar di sintem peredaran darahmu. Sudah meberikanmu rnacangan pemikiran dari bermilyar milyar sel yang membantumu berpikir, mungkin untuk membuatku bingung dan tak mengerti yang kau maksudkan kali ini."


Kau lagi lagi hanya terkekeh.

"Mari, dimensiku makin dekat. Aku harus bersiap siap.." ujarmu pelan.


Aku makin tak mengerti denganmu.


"Ini apa," tanyaku saat kau meninggalkan beberapa lembar lipatan kertas di depanku.

Dan kau lagi lagi hanya terkekeh. Kau melangkah pergi begitu saja.


Aku buka lipatan pertama kertas itu.
"Kau terlalu banyak bicara, dimensimu semakin dekat."



Aku buka lipatan kedua,
"cukuplah kematian sebagai pelajaran bagimu."

"Hey kau." aku berteriak kecil. Tapi tak kutemukan dirimu. Dunia gelap.






"Dimensimu ada dimana?"