Monday, January 7, 2013

Sore ini indah sekali, didekatmu.

"Apakah kamu hari ini bahagia? " tanya seseorang kepadaku pada suatu hari. Tak perlu kalian tahu siapa dia, yang pasti tingkahnya menyebalkan,keras kepala, bertingkah aneh, tak mau mengalah, suka memerintah, dan masih banyak keluhan yang bisa aku katakan tentangnya. Tetapi dibanyak waktu, dialah yang selalu ada disekitarku, bahkan saat aku mulai marah dengannya.

"Kalau kamu yang di tanya dengan pertanyaan itu, jawabanmu apa? " lanjutnya.


"insyaAllah, iya " jawabku pendek. Masih berusaha menambahkan kata InsyaAllah, mencoba mempertahankan kaidah kecilnya manusia dan besarnya kekuatan Semesta.


"Apa alasanmu sampai kamu jawab begitu? " tanyanya lagi. Kali ini dengan membenarkan letak kacamata yang ia kenakan.


"Simpel sih. Hidupku menyenangkan" jawabku sekenanya.


Dia mengkerutkan dahinya hingga tampak seperti wajah Profesorku memahami jawaban ujian akhirku. Mulai lagi, pikirku. Dia mulai menganggap serius apa yang aku katakan tadi. Memang benar kata beberapa orang, dia bukan manusia normal, ucapku dalam hati. Aku menduga duga apa yang ia pikirkan. Sekedar kalian tahu, dia adalah pemikir. Apapun jawabanku selalu dipikirkannya, di telaah dan dia akan tanyakan ulang lagi di kesempatan yang lain.


"Kalau begitu, hidupmu selama ini bahagia dong, kan aku selalu ada didekatmu, memikirkan apa yang kau pikirkan, bahkan mengakuisisi hak pilih dan hak menerimamu terhadap sesuatu. " ucapnya sambil tertawa tanpa dosa.


Sial, umpatku dalam hati. Dia bahkan baru saja merampok pikiranku. Dia tahu apa yang aku pikirkan, meski ini sangat tidak mendukung posisiku di depannya.


"Terlalu percaya diri itu untuk hal ini, itu kelewatan," jawabku sekenanya. Aku tak ingin membuat pongahnya makin besar dan tak terkendali.


Dia terdiam tiba tiba dan tak melanjutkan tawanya yang bernada penuh kemenangan itu. Lalu dia bersiap siap dengan pertanyaan selanjutnya sebelum ku potong dengan cepat.


"Abaikan aja, jangan dibuat rumit untuk pertanyaan seperti itu." kataku.


"Mmmmm, lantas kenapa semudah itu kamu bisa bilang hidupmu bahagia ? " sergahnya lagi. " Ekonom dan Antropolog saja belum sepakat dengan istilah bahagia yang kau maksud. Dan tentu bahagia yang kumaksud disini adalah bahagia yang penuh dengan kepuasan hati, bahagia yang membuatmu merasa memiliki segalanya. Bahagia yang bahkan orang lain tak mengerti apa rasa yang kau pikirkan. "


" Aku hidup berkecukupan secara ekonomi, aku tahu apa yang aku rasakan tanpa orang lain tahu apa yang aku lakukan. Aku bisa saja berkata kalau kita terlalu ribut mencari definisi bahagia, tanpa berpikir untuk membuatnya mudah. Kau tahu, bahagia jelas tak bisa kau paksakan menjadi definisi yang bisa kau setujui dan kau paksakan itu sebagai konsepmu, sebagai pemikiranmu. Coba aku tanya, apa bahasa inggrisnya bahagia?  happy? happy happy? Tak ada. Kau akan temukan kata prosperity atau welfare yang tak berkaitan dengan kata bahagia milikmu. Aku garis bawahi, milikmu! " sergahku.



"Kadangkala manusia memaknai kebahagiaan sebagai sesuatu yang ruhnawi (ruhiyah duniawi). Jarang sekali ditemukan pemikiran yang membahas bahagia dari berbagai aspek. Welfare, jelas bukan bahagia yang aku maksud. Welfare jelas berarti sejahtera yang berkaitan dengan materi, uang, dan pendapatan. Kalau kau tanyakan itu padaku, jelas saja aku tak paham. Aku bukan Soemitro atau Sastro Amidjojo yang bisa kau ajak berkata dengan hal ini. Kau sendiri yang bilang untuk membuat simpel untuk pertanyaan yang simpel ini. Apa kau pikir pertanyaanku membutuhkan jawaban terdefinisi jelas? tidak. Kalau itu yang kau maksud, mari kita tanyakan kepada para pialang di Wall Street, petani kokain di Andes atau para penambang berlian di Sieera Lone. Mereka tentu memiliki jawaban yang berbeda dan mereka memiliki argumen yang kuat dengan latar mereka yang seperti itu. Mudah saja, aku hanya menanyakan pertanyaan yang mudah dengan jawaban yang aku harap, juga mudah," jawabnya tenang. Aku bisa memastikan senyum kemenangan sudah akan tersungging di bibirnya.


 Benar benar menyebalkan.


Sifat tenangnya menanggapiku yang suka meledak ledak membuatku kadang mengalah kalau harus beradu pendapat dengannya.


" Oke, mudah. Akan kupermudah pertanyaaku. Apa yang kau maksud dengan bahagia? ". Aku jelas tak ingin dia makin memperpanjang kemenangannya dengan konsep welfare nya.


"Itu bisa ku jawab nanti." ucapnya sambil memperhatikan lekat wajahku. Aku merasa sedang diinterogasi petugas bandara Charles de Gaule, seperti tahun lalu.


"Kenapa kau tak jawab sekarang? " sergahku. Aku tahu dia sedang memancing rasa penasaranku untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin bertanya, tapi terlanjur berucap.

Ia tersenyum, senyum yang khas saat ia merasa memenangkan pertandingan bertanya atau tidak. Lalu ia memandang langit begitu saja. Ya, begitu saja tanpa memperhatikan kalau aku menunggu jawabannya.

" Kenapa?  " ucapku memburu jawabannya.


" Buatku juga mudah. Aku senang saat ini. Senang, bagiku variabel termudah untuk dimengerti orang lain untuk pertanyaan ini. Senang bisa menggantikan welfare dan prosperity yang butuh metodologi lebih jauh untuk paham dan memahaminya. Aku senang, hidupku berkecukupan, keluargaku tanpa kekurangan, aku tak menderita sesuatu yang mengharuskanku membeli oksigen yang bisa kudapatkan gratis di udara. Karierku berjalan bagus dan pasti. Semuanya berjalan sesuai rencana. "


" Itu menyerupai jawabanku tadi, tahu ? " Sergahku lagi. Dia seperti mempermainkanku hari ini.


" Ada satu yang berbeda," ujarnya sambil tetap memandang ke langit tanpa mengacuhkanku.


" Apa? " tanyaku cepat. Lagi lagi aku terjebak di permainan bertanya atau tidak.


" Aku dikelilingi oleh cinta dari orang yang aku cintai. " ujarnya lagi. Benar benar menjengkelkan, ia berusaha memancing rasa penasaranku dengan penjelasan yang sepotong sepotong.


" Siapa dia?  " tanyaku lagi. Aku sudah tidak peduli dengan permainan yang sudah dimenangkan olehnya dengan skor mutlak tanpa balas.


Ia menoleh dan menatap wajahku lekat lekat. Aku merasa tak nyaman dengan caranya menatap yang begitu tajam. Sangat tajam.


" Kamu," ucapnya lirih.


Kali ini aku yang mengalihkan wajahku, memandang langit yang kuharap bisa menurunkan awan menutupi wajahku dari pandangannya.


Sore ini indah sekali di dekatmu, cinta. 









Giessen, 8 Januari 2013.

No comments:

Post a Comment