Wednesday, January 23, 2013

Deuxieme




"Kau tak apa ? bisa ku bantu membereskan kertas kertas mu ? " tanyaku pada perempuan kecil yang kutaksir seusia denganku. Matanya biru, rambutnya kehitaman, dan baru saja jatuh beberapa meter di depanku. Tampaknya ia malu sekali terjatuh di depan lelaki. Aku berlari, mencoba berbaik hati membantunya untuk berdiri, tapi ia sudah berdiri saat aku menghampirinya. Aku kira dia seumuran dengan gadis remaja di sekitaran Römmerplatz ini. Tapi dugaanku salah. Wajahnya menggambarkan perempuan dewasa yang memiliki aura anggun khas wanita timur tengah.

"Terimakasih," ujarnya sembari tersenyum. 

Aku pun bergegas mengumpulkan kertas kertas berceceran. Ada kertas coretan yang kupikir itu tugas kuliahnya. Dengan sigap aku menumpulkannya sebelum terbawa angin dan basah terkena salju. Musim peralihan seperti ini angin bertiup terlalu kencang dan agak menyulitkanku memungut kertas kertasnya. Aku berlarian seperti anak kecil.Sementara ia tertawa tawa kecil melihatku berkejaran dengan lembaran tugas tugasnya.

"Ini sudah, tampaknya banyak sekali."

"Ah, tidak. ini hanya kumpulan tugas kuliah dari Profesor."

"Oh ya ? kuliah di sini juga ?" aku menyebutkan universitasku.

"Iya, benar. Aku sudah 5 semester kuliah di jurusan Hukum di sini," ujarnya sambil menceritakan tentang tugas nya sebelum memasuki masa penjurusan dan ujian akhir.

"Oiya, aku Farkha. Panggil saja Farkha," ujarnya memperkenalkan diri. Aku tak kesulitan mengeja namanya. Farkha, aku coba memanggilnya dengan dialek ala Maroko yang aku sering tirukan dari temanku.

"Seno," ujarku singkat. Aku tahu dia bakal mempertanyakan namaku lagi dan menebak asalku.

"Apa ? Zenou ?"

"Bukan, kau salah menyebutnya. Coba kau sebutkan dengan huruf S, bukan dengan huruf Z. Semudah itu. "

"Seno. Ok, baiklah." ia tertawa kecil menanggapi kesalahannya. "Nama yang lucu. Kau pasti berasal dari salah satu negara asia."

"Benarkah ? "aku mempertanyakan dugaannya, meski itu benar.

"Mmmmmm, Jepang ? Thailand ?"

Aku hanya menggelengkan kepala mendengar tebakannya.

"Indonesia," jawabku pasti. Dia pasti tahu negaraku. Pasti.

"Kuala Lumpur ?"

"Bukan bukan. Itu Malaysia. Kami memang mirip karena satu rumpun. Tapi jelas berbeda," jawabku pasti. Aku masih saja memilik sifat antipati mendengar nama negara satu ini, padahal itu murni bukan kesalahan mereka. Kali ini ia hanya mengangguk anggukkan kepalanya. Mungkin ia sendiri masih tak tahu bedanya apa.

" Ok, baiklah orang asia," ujarnya sambil tersenyum sampai terlihat giginya.

"Kau seharusnya ikut menertawakanku saat jatuh tadi, seperti yang lain." ujarnya sambil tak memandang wajahku.Tampaknya ia mulai tak canggung lagi untuk menegurku.

"Tidak, itu bukan kebiasaanku,' jawabku sambil menunjukkan wajah ramah khas asiaku ke dirinya. ia hanya menganggapi dengan tersenyum lagi. Kami tampak seperti kekasih yang canggung saat pertama kali bertemu, berdiri di Römmerplatz dan berhadap hadapan tepat selemparan batu dari patung putri kekaisaran Weimarer. Burung dara tak mau berhenti berlarian, dan  tampaknya mereka berevolusi dari terbang menjadi berlarian karena banyaknya makanan yang tersedia di lapangan ini. Mirip kisah di teori evolusi Charles Darwin.


"Kau mau es krim ? " tanyanya sambil menunjukkan kedai Haagen Dazs.


"Tentu saja aku tak menolaknya," ujarku sambil tetap mempertahankan wajah ramah dan ia mengajakku menuju ke salah satau kedai es krim di pojokan Römmerplatz. Kami tertawa.


"Kamu tahu, ini pertama kalinya aku menikmati es krim dengan orang asing."


" Iyakah ? " aku menanggapinya dengan serius. Agak terkejut dengan ucapannya.


"Dan aku merasa orangnya penuh misteri."

(bersambung)









Monday, January 14, 2013

Kata mereka:Kita Nasionalis



Suatu hari saya naik kereta menuju Berlin dari sebuah kota kecil bernama Nordhausen selama 4 jam. Hari ini adalah tanggal 31 Desember dan jelas saja, kereta penuh sesak oleh penumpang yang ingin merayakan pergantian tahun. Kereta dipenuhi oleh manusia yang bermacam macam, dari anak muda yang terus tertawa sepanjang jalan, sampai pegawai keuangan yang sibuk membuka chart saham DAX dan memantau perkembangan nilai tukar Euro terhadap Dollar. Sementara saya duduk bersama 3 orang lain yang sama sekali tak kenal. Saya berpikir mereka pasti orang orang berada, terlihat dari jam tangan eksklusif buatan Swiss di pergelangan tangan mereka. Tiba tiba terlintas pikiran di kepala saya , mengapa penduduk Jerman makmur secara finansial ? mengapa rumah rumah di sini bagus bagus, jalanan tak berlubang, dan kereta api selalu datang tepat waktu ? Mengapa tak pernah ada demo menuntut perbaikan kualitas pendidikan, menuntut kenaikan upah dan perbaikan birokrasi pemerintahan ? Mengapa di sini ada  sistem kesehatan yang mumpuni sampai sistem pensiun yang menjamin semua penduduk, jalan tol yang lebar dan tanpa kerusakan, makanan yang terjamin kualitasnya, air yang langsung bisa diminum, atau beribu ribu jaringan gas pemanas ruangan yang ada di setiap rumah penduduk ? Mengapa penduduk sini bahkan tetap kaya raya meski setiap hari mereka membelanjakan uang untuk menenggak minuman yang merugikan ? (Menurut statistik, penduduk Jerman menenggak 125 liter bir per orang per tahun).


Kereta turun, udara  minus 4 derajat langsung menerpa wajah. Salju yang sangat dingin berjatuhan dan ini sangat tidak nyaman untuk berjalan terus terusan di suhu yang seperti ini . 4 musim yang dimiliki negara ini sangat tidak menguntungkan pemenuhan kebutuhan dasar mereka: Pangan. Petani petani jerman hanya bisa menanam kentang, jagung dan gandum saat musim panas. Jelas tidak ekonomis kalau hanya dikelola selama 3 bulan saja dalam setahun. Bandingkan dengan petani Indonesia yang tanahnya subur kehitaman dan mampu menanam bermacam macam jenis tanaman tak kenal waktu sepanjang tahun. Kita bisa menanam padi dua kali dan jagung dalam satu tahun. Tetapi, di sini pemerintah Jerman pun  bertindak cerdik. Petani dibiarkan mengelola lahan puluhan hektar, jadi memungkinan seorang petani bisa saja memiliki 90 hektar kentang dan 50 hektar jagung bersamaan. Petani pun juga memiliki akses kredit permodalan dengan cicilan rendah untuk membeli traktor, mesin penanam, mesin panen, dan gudang penyimpanan sekaligus. Mereka mampu menyimpan hasil panen mereka, menjaga nilai jual panen pertanian agar tidak jatuh. Pupuk disediakan tanpa pernah  ada berita kelangkaan pupuk. (Selama saya di sini tak pernah membaca atau mendengar berita kelangkaan pupuk). Petani memiliki permodalan sendiri untuk membangun sistem irigasi yang efisien dan modern. Pertanian dibuat seefisien mungkin dengan sistem monokultur dan mekanisasi modern. Hasilnya, petani petani di jerman rata rata memiliki rumah dan mobil terbaru di rumah mereka.Nilai tukar petani sangat tinggi di sini. Tahun 2010 pertanian Jerman menghasilkan angka 46,06 milyar Euro, 10 persen dari total produksi pertanian Eropa. Bandingkan dengan petani di indonesia yang rata rata memiliki lahan garapan dibawah 1 hektar dan tak memiliki akses permodalan yang mencukupi untuk membeli mesin dan akses ke benih, pupuk dan produk perawatan tanaman lainnya, serta tak mengetahui kondisi pasar dan dipermainkan tengkulak saat panen menjelang.



Oke , cukup dengan petani petani kaya di negeri ini. Hari ini saya berencana mengunjungi Brandenbürgertor yang sangat terkenal itu. Setelah melihat lihat simbol keruntuhan temok Berlin dan reunifikasi Jerman dekade 90 an lalu, saya memikirkan sesuatu tentang negeri ini. Negeri ini seakan baru saja dibangun setelah terpecah belah selama puluhan tahun. Negeri ini baru saja menggalakkan pembangunan  20 tahun yang lalu, saat reunifikasi Jerman barat dan Jerman timur berhasil dilakukan setelah demo yang berlangsung tak kenal waktu. Rasa rasanya, negeri ini baru saja digerakkan sendi sendi perekonomiannya beberapa hari yang lalu.  Baru beberapa tahun yang lalu, setelah puluhan kota di negeri ini babak belur di hancurkan oleh bom bom berdaya rusak tinggi yang dijatuhkan sekutu. Rasa rasanya baru beberapa tahun yang lalu, negeri ini kesulitan keuangan dan membutuhkan uluran Marshall Plann untuk membangun industri mereka. Dan lihat lah hasil dan kondisinya saat ini. Ekspor Jerman tetap menjadi yang nomor satu untuk kawasan Uni Eropa. Jerman, bersama Inggris dan Perancis menjadi pemain kunci untuk kestabilan zona Euro dan Uni Eropa pada umumnya. Kekuatan ekonomi Jerman, tak terbantahkan untuk kawasan Eropa. Dalam krisis Yunani dan Krisis utang Irlandia yang hampir merobohkan Uni Eropa, Jerman tampil sebagai pahlawan dengan kucuran Euro dari pabrik pabrik mereka yan tersebar di  seluruh tanah negeri ini. Kekuatan aset Allianz AG, bahkan melebihi APBN Indonesia yang masih dibawah 2000 Trilyun. Allianz memiliki aset sebanyak 2800 trilyun. Itu hanya Allianz, itu belum termasuk VW Grup, Mercedes Benz, BMW, BASF, Bayer, Deutsche Bank, Deutsche Post dengan DHL nya, Continental, DaimlerChrysler dan masih banyak lagi. Kalau saja kita melihat barang barang yang kita beli tiap hari, rasanya kita akan menyadari bahwa pasti ada produk dari perusahaan perusahaan Jerman yang kita beli tiap hari. Tak usah membahas rencana pemerintah membeli 100 tank Leopard asal Jerman, atau berseliwerannya Audi, Porsche  dan BMW terbaru di jalanan kota kota di negara kita. Tiap hari pun tanpa kita sadari kita  mematikan obat nyamuk bakar Baygon buatan Bayer AG, memberi makan anak kecil kita dengan sarapan Oetker Oatmeal dari DR. August Oetker AG, memberangkatkan anak kita dengan bus sekolah buatan Mercedes Benz, atau membelikan anak kita sirup obat batuk anak buatan Boehringer Ingerheim. Tetangga kita yang sedang memperbaiki pagar rumahnya pun memesan semen Holcim, produk dari HeidelbergCement. Saat kita pergi ke salah satu pasar swalayan modern di kota terdekat, tanpa sadar kita menggunakan lift dan ekskalator buatan Bosch atau ThyssenKrupp. Para suami tanpa sadar membeli bor tangan buatan Schneider Electronic atau Makita, dan membeli jersey bola untuk nonton bareng piala dunia bermerk Adidas. Di lain cerita, pemerintah pun menggalakkan penggunaan serbuk abate pembasmi nyamuk di genangan air buatan BASF dan membangun gedung gedung pencakar langit dengan crane dan truk material buatan MAN, dan kita hanya setuju setuju saja. Bagaimana mereka tak kaya raya ?



Tak usah berkata tentang nasionalisme dan cinta produk dalam negeri, saat kita pun hanya diam mengetahui buruh pekerja Adidas di Tangerang atau di Bekasi tak mendapatkan upah yang layak. Tak perlu berkoar koar tentang kemajuan perekonomian dan kesejahteraan sosial, saat etos kerja dan keefektifan kerja kita masih dibawah pekerja pekerja Jerman. Jelas pekerja Jerman mendapatkan upah yang lebih tinggi, dengan cara mereka bekerja yang selalu tepat waktu dan zero tolerance terhadap kesalahan. Pekerja pekerja jerman diciptakan menjadi pekerja tangguh sejak jaman perang dunia ke 2, sejak jaman mereka diburu buru mencari solusi menciptakan jalur distribusi yang paling efisien, menciptakan sistem industri hulu sampai hilir yang terintegrasi dan efektif dan itu semua menghasilkan produk produk kelas satu yang tetap terjangkau. Saat pengusaha tekstil di Jawa Barat kesulitan akan pasokan listrik dan bahan baku, HeidelbergCement mencoba memperluas lahan produksi kaolin mereka di Jawa Timur, dan Mercedes Benz berencana membangun pabrik perakitan mobil mereka di Cikarang. Saat PT Dirgantara Indonesia kesulitan permodalan dan PT Pindad kesulitan memasarkan prduknya, pemerintah menjajaki kerjasama untuk membeli sistem navigasi dan radar militer dengan Siemens AG dengan skema Goverment to Goverment.  Saat rumah tangga di Jalarta kesulitan mendapatkan pasokan air bersih yang kontinu, Jerman berencana membangun pengolahan Air di tepian Rhein dan mencoba memasok lebih banyak air siap minum di rumah rumah penduduknya.



Nasionalisme ? apakah sistem kapitalisme Industri Jerman masih memiliki kaitan erat dengan Nasionalisme ? Kalau kita saksikan bersama, mobil mobil buatan Jerman tetap memenuhi jalanan kota kota di jerman, meskipun serbuan mobil buatan Jepang, Korea ataupun China yang berhasil membuatnya lebih murah mulai masuk ke negara ini. Rakyat negeri ini tetap mencintai Audi A5 mereka atau VW Golf mereka dibandingkan Ford Focus atau Toyota Yaris yang lebih ekonomis. Adidas tetap merajai pasar apparel negeri ini. Brand produk luar negeri sangat sulit bersaing di negara ini. Sangat sulit. Marilah kita hitung berapa jumlah mobil buatan Jepang di Jakarta, dan saya pastikan anda akan kesulitan sendiri menghitungnya. Atau munculnya pusat pusat retail baru dari Jepang dan Korea Selatan, dan berbagai perusahaan tambang yang menawarkan imbal tinggi untuk dapat mengeruk tanah tanah penuh logam di negara kita. Kita lebih nasionalis ? tunggu dulu. Apakah kita lebih suka menabung di OCBC NISP, UOB Buana, BII Maybank, Bank Haga, BTPN, DBS Danamon, atau kita lebih suka menabung di BRI dan BNI 46? pertanyaan mudah bukan ?



Sementara pelajar pelajar kita masih suka bermimpi dibuai serbuan drama Korea, pemerintah Jerman menyediakan sistem pendidikan yang terjangkau dan fleksibel untuk mahasiswanya. Universitas dilengkapi dengan prasarana yang mengikuti perkembangan jaman, dan dana riset yang melimpah. Pengajar pengajar sekolah dasar di jerman harus berkualifikasi khusus dan disediakan banyak tenaga konsultasi yang membantu pelajar dan para mahasiswa. Tiap tahun kebutuhan akan tenaga Insinyur dan peneliti di Jerman selalu meningkat, dan itu semua berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang tetap meningkat dan terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang terjaga berbanding lurus denga perkebangan rakyat yang mudah meraih informasi, mudah mendapatkan fasilitas kesehatan, hukum dana pendidikan. Rakyat Jerman terlindungi dengan baik kemanapun mereka pergi.



Saat elit politik sedang gaduh gaduhnya menghadapi 2014, saat pelajar tak juga berhenti tawuran, saat  remaja Indonesia tak berhenti membakar tembakau dan mengenal dunia penuh obat obatan, saat ilmuwan indonesia mengeluhkan gaji dan pendapatan yang tak sebanding, saat oknum oknum penegak hukum menawarkan diri untuk disuap dan memacung hukum yang ia jaga dengan sendirinya, saat itu pula perusahaan perusahaan negeri ini sudah berinovasi lebih jauh untuk dapat menjangkau dan mengakuisisi sumber daya negeri kita. Bukan salah mereka, ini murni salah kita. !

















Sunday, January 13, 2013

Suatu sore di tepian Savarus






Suatu sore di tepian Savarus yang sama dari dua orang yang berbeda, aku dan kamu duduk di pasir tepian Savarus dan tanpa acuh melemparkan beberapa butir kerikil ke Savarus. Udara hari ini dingin sekali, sangat dingin. Angin yang berhembus sungguh bisa membuatku menggigil tak keruan. Tapi kau hanya kenakan mantel coklatmu dan sarung tangan bermotif rusa yang kau beli di Weihnachtmarkt tahun lalu. Padahal aku sudah bilang kalau motif itu tak pas untuk sarung tangan, tapi yah dirimu, sama sekali tak pernah menuruti kataku, dan selalu beranggapan motif itu motif lucu yang paling serasi.  Ah kau, selalu menganggap dirimu benar dan aku yang salah. huh.!


 Dan  sementara beberapa ratus meter jauh disana, ada yang berjalan bersama kekasihnya bergandengan tangan menuju ke arah kita, lalu duduk di kursi yang terletak beberapa meter di sebelahku. Sang lelaki berpakaian amat muda dan mencerminkan status sosialnya, dengan jaket denim dan celana jeans biru, serta sepatu kulit terbaru yang aku lihat di acara mode Milan Fashion Week / Autumn 2012. Yang perempuan, tampak manis dengan syal kain yang diatur sedemikian rupa menyerupai pashmina berwarna merah tua. Serasi dengan blazer dengan warna yang sama,  yang ia kenakan dan kacamata minus yang tipis. Sangat serasi.



"Mereka cantik dan serasi yah," katamu tiba tiba sambil berusaha mempertahankan senyummu sampai aku menoleh ke wajahmu.


 "Kita juga serasi," ucapmu lagi. Kali ini tanpa menolehkan wajahmu sama sekali. Kau tampak menekankan kalimat untuk menunjukan kita serasi. Padahal menurutku kita tak memiliki kesamaan selain warna hijau yang sama sama kita sukai.


"Apanya yang serasi dari kita ?"bantahku. Kamu jelas hanya ingin bercanda kali ini, pikirku lagi. "Lihat, kau selalu memakai jam tangan di tangan kiri, sementara aku selalu memakainya di tangan kanan. Buatmu caraku memakai jam tangan saja sudah melawan arus normal, jam tangan harus dikenakan di tangan kiri. Apanya yang serasi ?"



Kamu hanya tersenyum. Tapi kali ini lesung pipimu terlihat jelas.


"Terus terus, apalagi kakak ? " ucapmu sambil lagi lagi tersenyum yang jelas jelas menggodaku. Dasar,  kau selalu menggodaku tiap kali aku berbicara seperti ini.


"Terus, kau tak suka aku memakai kemeja yang hanya satu warna saja. Kau selalu menawarkanku membeli kemeja bergaris garis putih dengan model dan bentuk yang sama. Buatku ini bukti kalau kita tak serasi dan tak bisa serasi, iya bukan ?. Padahal menurutku kemeja satu warna bisa menunjukkan keseriusan, tapi menurutmu itu oldie dan tak menarik."


"Kau lebih suka Tschaikovsky dan Vivaldi, sementara aku lebih suka yang lebih klasik, Mozart dan Beethoven. Kau lebih suka menulis sambil berbicara sendiri, sementara aku yang membaca di sebelahmu selalu terganggu dengan caramu menghafalkan dan menuliskan dialog dalam ceritamu. Aneh, aneh sekali. Itu perilaku yang asing menurutku. Kamu suka menggambar dan mencoret coret buku kerjaku dengan peta dunia yang kau reka reka, padahal jelas itu salah dan tidak tepat, entah berapa nilai geografimu di sekolah menengah dulu, tapi itu jelas merusak tatanan buku yang sudah aku persiapkan dan pilah pilah lembarnya untuk menulis ini, ini, dan itu."



"Aku menyukai suara lembut James Blunt atau genre pop yang bisa meluluhkan hati ala Adele, sementara kau menyukai alunan bertalu talu Sigur Ros. Aku menyukai cerita yang lugas dan apa adanya seperti penjelasan para sejarahwan tentang Battle of Waterloo sementara kau menyukai cerita penuh fantasi dan mistisme nya JK Rowling. Sejauh ini pun kau tak mampu menjelaskan alasanmu, mengapa kita serasi, dan sejauh ini alasanku cukup masuk akal,mengapa kita tidak serasi."


Ada rasa membuncah dalam hatiku, bisa membuatmu terdiam seperti pidato Sutan Sjahrir di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang membungkam perwakilan Belanda, Amerika Serikat dan Australia, yang membuat perlunya pengakuan kedaulatan indonesia secara de facto dan de jure, 70 tahunan yang lalu.


Sementara kau hanya tersenyum menanggapi celotehanku. Hanya tersenyum, tapi tetap manis mengambang di wajah.Kalau kau terus tersenyum seperti ini, hati siapa yang tak luluh, batinku. Bahkan Savarus ini pun akan membeku jika kau tak menghentikan senyumanmu.



"Kata siapa kita tak serasi ?" ujarmu sambil memandang lurus ke riak riak air Savarus yang tertiup angin. Sementara aku memposisikan diriku pura pura tak terlalu serius mendengarkan jawabanmu.


"Kita satu visi dan cita cita. Kita mungkin bisa berbeda dalam banyak hal, dalam banyak bidang. Tapi pemikiranmu, pemikiranku, persetujuanmu, persetujuanku, selalu dapat ditarik kesimpulan yang pasti tentang serasinya kita. Kita menyukai hal yang berbeda, tapi kita saling memuji pilihan kita masing masing, bahkan saling mencari tahu kesukaan masing masing. Kau menyukai Mozart dan irama harmonis Beethoven, tapi sesekali kau curi curi dengar Vivaldi ku kan ? Kau menyukai materi materi Genetika tesis mu, dan aku yang banyak bertanya tentang ini dan itu, lalu kau mau belajar untuk menjawab pertanyaanku, dan aku terus bertanya lagi sampai kau tak berhenti belajar, membaca, bertanya ke Profesormu dan yang lainnya. Lalu apa ini bukan hal yang serasi ?" cecarnya. " Kau sungguh pemalas, selalu mencari cara termudah untuk menyelesaikan pekerjaanmu, dan menyisakan pekerjaan sulit untukku, supaya kau bisa diam diam tertawa lalu dengan tanpa aku suruh, kau membantuku, bukan ? Kau terbiasa berpikir terlalu logis, sampai mempertanyakan tentang awal munculnya kepercayaan, sementara aku hanya menganggap itu sebagai kepercayaan dalam nilai, tanpa perlu mempertanyakan aktivitas di dalamnya. Kau terlalu keras kepala berusaha membuatku mengalah padamu, sementara itu hanya akan berhasil jika kau bisa membuktikannya." 



Aku tak bisa menanggapi pernyataanmu barusan. Kuputuskan untuk mendengarkanmu lebih jauh.


"Bahkan, tak perlu kujelaskan panjang lebar. Dasarnya mengapa kita serasi adalah... " ucapmu, sengaja sekali kau tahan supaya aku penasaran.


"Apa ? " ucapku memburu.


"Kau mencintaiku bukan ?" tanyamu tegas.




Giessen, 14.01.2013



Monday, January 7, 2013

Sore ini indah sekali, didekatmu.

"Apakah kamu hari ini bahagia? " tanya seseorang kepadaku pada suatu hari. Tak perlu kalian tahu siapa dia, yang pasti tingkahnya menyebalkan,keras kepala, bertingkah aneh, tak mau mengalah, suka memerintah, dan masih banyak keluhan yang bisa aku katakan tentangnya. Tetapi dibanyak waktu, dialah yang selalu ada disekitarku, bahkan saat aku mulai marah dengannya.

"Kalau kamu yang di tanya dengan pertanyaan itu, jawabanmu apa? " lanjutnya.


"insyaAllah, iya " jawabku pendek. Masih berusaha menambahkan kata InsyaAllah, mencoba mempertahankan kaidah kecilnya manusia dan besarnya kekuatan Semesta.


"Apa alasanmu sampai kamu jawab begitu? " tanyanya lagi. Kali ini dengan membenarkan letak kacamata yang ia kenakan.


"Simpel sih. Hidupku menyenangkan" jawabku sekenanya.


Dia mengkerutkan dahinya hingga tampak seperti wajah Profesorku memahami jawaban ujian akhirku. Mulai lagi, pikirku. Dia mulai menganggap serius apa yang aku katakan tadi. Memang benar kata beberapa orang, dia bukan manusia normal, ucapku dalam hati. Aku menduga duga apa yang ia pikirkan. Sekedar kalian tahu, dia adalah pemikir. Apapun jawabanku selalu dipikirkannya, di telaah dan dia akan tanyakan ulang lagi di kesempatan yang lain.


"Kalau begitu, hidupmu selama ini bahagia dong, kan aku selalu ada didekatmu, memikirkan apa yang kau pikirkan, bahkan mengakuisisi hak pilih dan hak menerimamu terhadap sesuatu. " ucapnya sambil tertawa tanpa dosa.


Sial, umpatku dalam hati. Dia bahkan baru saja merampok pikiranku. Dia tahu apa yang aku pikirkan, meski ini sangat tidak mendukung posisiku di depannya.


"Terlalu percaya diri itu untuk hal ini, itu kelewatan," jawabku sekenanya. Aku tak ingin membuat pongahnya makin besar dan tak terkendali.


Dia terdiam tiba tiba dan tak melanjutkan tawanya yang bernada penuh kemenangan itu. Lalu dia bersiap siap dengan pertanyaan selanjutnya sebelum ku potong dengan cepat.


"Abaikan aja, jangan dibuat rumit untuk pertanyaan seperti itu." kataku.


"Mmmmm, lantas kenapa semudah itu kamu bisa bilang hidupmu bahagia ? " sergahnya lagi. " Ekonom dan Antropolog saja belum sepakat dengan istilah bahagia yang kau maksud. Dan tentu bahagia yang kumaksud disini adalah bahagia yang penuh dengan kepuasan hati, bahagia yang membuatmu merasa memiliki segalanya. Bahagia yang bahkan orang lain tak mengerti apa rasa yang kau pikirkan. "


" Aku hidup berkecukupan secara ekonomi, aku tahu apa yang aku rasakan tanpa orang lain tahu apa yang aku lakukan. Aku bisa saja berkata kalau kita terlalu ribut mencari definisi bahagia, tanpa berpikir untuk membuatnya mudah. Kau tahu, bahagia jelas tak bisa kau paksakan menjadi definisi yang bisa kau setujui dan kau paksakan itu sebagai konsepmu, sebagai pemikiranmu. Coba aku tanya, apa bahasa inggrisnya bahagia?  happy? happy happy? Tak ada. Kau akan temukan kata prosperity atau welfare yang tak berkaitan dengan kata bahagia milikmu. Aku garis bawahi, milikmu! " sergahku.



"Kadangkala manusia memaknai kebahagiaan sebagai sesuatu yang ruhnawi (ruhiyah duniawi). Jarang sekali ditemukan pemikiran yang membahas bahagia dari berbagai aspek. Welfare, jelas bukan bahagia yang aku maksud. Welfare jelas berarti sejahtera yang berkaitan dengan materi, uang, dan pendapatan. Kalau kau tanyakan itu padaku, jelas saja aku tak paham. Aku bukan Soemitro atau Sastro Amidjojo yang bisa kau ajak berkata dengan hal ini. Kau sendiri yang bilang untuk membuat simpel untuk pertanyaan yang simpel ini. Apa kau pikir pertanyaanku membutuhkan jawaban terdefinisi jelas? tidak. Kalau itu yang kau maksud, mari kita tanyakan kepada para pialang di Wall Street, petani kokain di Andes atau para penambang berlian di Sieera Lone. Mereka tentu memiliki jawaban yang berbeda dan mereka memiliki argumen yang kuat dengan latar mereka yang seperti itu. Mudah saja, aku hanya menanyakan pertanyaan yang mudah dengan jawaban yang aku harap, juga mudah," jawabnya tenang. Aku bisa memastikan senyum kemenangan sudah akan tersungging di bibirnya.


 Benar benar menyebalkan.


Sifat tenangnya menanggapiku yang suka meledak ledak membuatku kadang mengalah kalau harus beradu pendapat dengannya.


" Oke, mudah. Akan kupermudah pertanyaaku. Apa yang kau maksud dengan bahagia? ". Aku jelas tak ingin dia makin memperpanjang kemenangannya dengan konsep welfare nya.


"Itu bisa ku jawab nanti." ucapnya sambil memperhatikan lekat wajahku. Aku merasa sedang diinterogasi petugas bandara Charles de Gaule, seperti tahun lalu.


"Kenapa kau tak jawab sekarang? " sergahku. Aku tahu dia sedang memancing rasa penasaranku untuk bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin bertanya, tapi terlanjur berucap.

Ia tersenyum, senyum yang khas saat ia merasa memenangkan pertandingan bertanya atau tidak. Lalu ia memandang langit begitu saja. Ya, begitu saja tanpa memperhatikan kalau aku menunggu jawabannya.

" Kenapa?  " ucapku memburu jawabannya.


" Buatku juga mudah. Aku senang saat ini. Senang, bagiku variabel termudah untuk dimengerti orang lain untuk pertanyaan ini. Senang bisa menggantikan welfare dan prosperity yang butuh metodologi lebih jauh untuk paham dan memahaminya. Aku senang, hidupku berkecukupan, keluargaku tanpa kekurangan, aku tak menderita sesuatu yang mengharuskanku membeli oksigen yang bisa kudapatkan gratis di udara. Karierku berjalan bagus dan pasti. Semuanya berjalan sesuai rencana. "


" Itu menyerupai jawabanku tadi, tahu ? " Sergahku lagi. Dia seperti mempermainkanku hari ini.


" Ada satu yang berbeda," ujarnya sambil tetap memandang ke langit tanpa mengacuhkanku.


" Apa? " tanyaku cepat. Lagi lagi aku terjebak di permainan bertanya atau tidak.


" Aku dikelilingi oleh cinta dari orang yang aku cintai. " ujarnya lagi. Benar benar menjengkelkan, ia berusaha memancing rasa penasaranku dengan penjelasan yang sepotong sepotong.


" Siapa dia?  " tanyaku lagi. Aku sudah tidak peduli dengan permainan yang sudah dimenangkan olehnya dengan skor mutlak tanpa balas.


Ia menoleh dan menatap wajahku lekat lekat. Aku merasa tak nyaman dengan caranya menatap yang begitu tajam. Sangat tajam.


" Kamu," ucapnya lirih.


Kali ini aku yang mengalihkan wajahku, memandang langit yang kuharap bisa menurunkan awan menutupi wajahku dari pandangannya.


Sore ini indah sekali di dekatmu, cinta. 









Giessen, 8 Januari 2013.