Saturday, September 22, 2012

#Suarapublik dan Joko Widodo - Basuki Tjahja Purnama



"Suara rakyat adalah suara Tuhan," kata kata spanduk dan ocehan para politisi kala jagoannya menang dalam pemilihan umum. Suara publik begitu sangat bisa menjungkalkan para pemimpin hanya dalam hitungan bulan, minggu, hari bahkan jam!! menarik, agar politisi belajar bagaimana mengelola suara publik menjadi dukungan untuk melakukan yang terbaik (atas nama rakyat).

Masih ingat bagaimana runtuhnya Kekuasaan Ben Ali di Tunisia, atau rontoknya sendi sendi pemerintahan Hosni Mubarak yang sudah bertahan puluhan tahun, disokong kekuatan Amerika Serikat, Israel dan petinggi petinggi Eropa rontok oleh suara publik yang bosan dengan keadaan mereka yang tak mengalami perubahan berarti. Mubarak didemo puluhan ribu orang yang dikomandoi sms dan jejaring sosial, yang tanpa ragu sampai mendirikan tenda tenda untuk menjungkalkan Mubarak. Tak sedikit yang meninggal diterjang peluru tentara. Tap tekad mereka terlalu kuat. Mereka butuh suasana baru yang menjamin kehidupan mereka makin baik serta kebebasan mereka tidak dikekang kekang lagi. Suara publik. Itulah jawabannya.

Berkembangnya jejaring sosial pun turut mendukung kuatnya suara publik dan mudahnya pendapat disampaikan. suara publik pun dimanfaatkan, diolah sedemikian rupa menjadi komoditas yang seksi dan instant untuk menyuarakan isi hati rakyat, dari yang paling sepele sampai yang melibatkan jajaran petinggi negara. Media pun ikut ikutan membuai suara publik hingga suara publik makin tak bisa dibatasi. Muncullah tokoh tokoh baru yang terjadi karena suara publik. Contoh gampangnya, Prita Mulyasari yang diposisikan sebagai "korban" dan melawan hegemoni Rumah Sakit bertitel Internasional yang besar dan terkenal. Prita diharuskan membayar ganti rugi sebesar 230 juta rupiah. Uang itu tentu jumlah yang  besar bagi Prita. Apa yang dilakukan publik ? tak henti hentinya kritikan terhadap pengadilan kasus Prita muncul dan berkembang menjadi Gerakan "Help!Prita" yang mengumpulkan koin dan akan dibayarkan sebagai uang denda untuk Prita. Media ? media berkali kali memberitakan kasus Prita dan mengundang banyak perhatian pemerhati hukum. SuaraPublik pun membesar. Tak bisa dibatasi sampai akhirnya Mahkamah Agung menvonis bebas Prita Mulyasari. Selesai ? belum. Saat Presiden "keseleo lidah" menyebutkan bahwa gaji Presiden tak pernah naik ( dalam pidato di depan jajaran TNI), suara publik pun muncul kembali. Sayang, bukan simpati dan perhatian yang muncul, tapi cacian dan sindiran yang keluar dari status, forum, dan kicauan masyarakat. Suara publik pun bergolak. Gerakan "HELP! President's Salary" seolah membungkam pernyatan "keseleo lidah' Presiden. Malu tentunya presiden dianggap kekurangan gaji. Suara publik muncul menjadi wakil rakyat untuk >> mempermalukan presiden.

Dalam pilkada jakarta tahun 2012 ini pun, suara publik menjadi pemain penting yang turut membantu suksesnya pasangan baru dan tidak biasa, Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo, yang notabene orang baru, bukan petinggi partai, bukan pengusaha kaya raya, dan bukan orang betawi. Apalagi Ahok, yang kristen, bukan birokrat tinggi, chinese (bayangkan masih ada perasaan berbeda saat mendengar kata 'cina') dan bukan orang betawi pula, bisa mengalahkan pasangan incumbent, Gubernur Fauzi Bowo, beserta wakilnya, Nachrowi Ramli yang merupakan ketua Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, mantan jenderal, dan ketua DPD 1 Partai Demokrat, sang pemenang pemilu di DKI jakarta tahun 2009. Pasangan petahana ini memiliki semuanya, apapun yang dibutuhkan untuk memenangkan pilkada secara langsung di indonesia. Ada  dukungan partai partai besar semacam PKS, PPP, Golkar, PD, Hanura, dan sebagian partai partai kecil lainnya. Foke memiliki mesin politik dan pengerahan birokrat yang handal. Lihat bagaimana mudahnya spanduk Foke beterbaran di setiap sekolah di DKI Jakarta.  Foke lebih dikenal dan diketahui oleh warga jakarta, karena sudah menjabat sebagai Sekda, wakil gubernur, bahkan gubernur. Nachrowi Ramli, ketua DPD 1 Partai Demokrat yang simpatisannya ratusan ribu di jakarta. Di putaran pertam pun, pasangan ini memiliki dana kampanye "tercatat" sebanyak 62 milyar, terbanyak dibandingkan dengan  calon calon lainnya.

Kekuatan tak terbatas ini justru terjungkal oleh suara publik yang menginginkan perubahan, dan Jokowi-Ahok mampu meraih suara publik dan menjawab keinginan akan "perubahan" tersebut dengan cepat. Jokowi menangkap kerinduan publik akan sosok yang ramah, apa adanya, dekat dengan rakyat, dan sabar. Jokowi tidak menampilkan sosok orang yang harus dibatasi oleh protokoler dan harus menjaga wibawa.Alih alih berebutan menampilan spanduk, poster dan baliho di penjuru kota, jokowi malah blusukan dari kampung ke kampung, menjajakan program nya dan menyapa rakyat. Simple, tapi hal ini tak bisa ditiru dan dilakukan oleh lainnya. Alih alih membagi bagikan kaos bergambar dirinya dan pasangannya berikut nomor di kaos atau baju seperti kontestan pilkada di indonesia pada umumnya, jokowi malah memperkenalkan kemeja kotak kotak yang dengan sukses menuai suara publik. Kemeja kotak kotak pun laris manis. dijajakan dari toko, internet, bahkan di jalannan.

Gaya kampaye ini dianggap unik, terkesan kreatif dan bersih. Saat lawannya mengkritik latar belakang Jokowi dan Ahok, yang nyeleneh dan seakan menyalahi hukum pilkada, Jokowi malah mengkritik kinerja dan program yang ditawarkan lawannya. Jokowi berhasil. Media cetak dan elektronik pun berebutan menampilkan tiap detail yang ia kerjakan, di lain pihak menampilkan kesalahan dan kegagalan lawannya. Suara media pun bermunculan di forum, media online, jejaring sosial dan kehidupan nyata. Salahkan Jokowi ? salah besar. Anda harus menyalahkan media yang begitu mencintai sosoknya. Strategi marketing Jokowi meraih suara publik pun dengan sukses menjungkalkan Fauzi Bowo. Dahsyat kan ?? :D

Di lain pihak, suara publik yang begitu besar bisa menjadi blunder. Ingat kisah Darsem, TKW yang dijatuhi hukuman namun digagalkan karena diyat nya dibayarkan oleh suara publik dari berbagai elemen. Setelah bebas, ada berita berita miring tentangnya dan menjadi bahan hinaan di media. Suara publik pun menghakimi, Darsem dikucilkan. Padahal seharusnya ini menjadi PR pemerintah untuk penyediaan lapangan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warganya. Suara publik yang tak terkelola bisa dimanfaatkan pihak pihak tertentu dengan cara pengalihan isu. Kenaikan BBM tahun kurun tahun 2007 - 2008 bisa tertutupi dengan sempurna oleh hujatan berhari hari terhadap FPI atas penyerangan terhadap AKKBB, FPI tak bisa meraih suara publik, sejak dari situ muncullah suara suara sinis terhadap apapun, tidak hanya yang positif, yang dilakukan oleh FPI, maka dianggap dan dicaci maki di media manapun.

Kembali ke kasus pilkada DKI. Saat debat publikyang ditayangkan oleh MetroTV, sempat Nara menyapa Ahok dengan sapaan Haiya Ahok, yang dianggap disengaja dilakukan untuk menegaskan kepada audiens bahwa Ahok adalah etnis China, yang berujung hujatan di berbagai media dan jejaring sosial. Isu SARA menjadi jualan utama Foke-Nara. Foke dan Nara yang sama sama beragam islam dan sama sama orang betawi menjual diri mereka dengan latar belakang tersebut.Di berbagai kesempatan pun, Foke yang tak biasa biasanya mengikuti acara keagamaan menjadi rajin dan berkali kali di berbagai kesempatan mengatakan pentingnya memilih pemimpin yang seiman. Iklan Foke pun menampilkan shalawat Nabi. Sayang, banyak omongan bernada sinis terhadap Foke. Foke dianggap menggunakan agama untuk kepentingan individu. Foke gagal dikandang sendiri meraih suara dari publiknya sendiri. Miris.

Kecerobohan Nara bercanda Haiya Haiya menerima buah pahitnya. Di twitter bahkan muncul tagar #DKI1 yang berisi pelecehan terhadap Nara. Nara pun sukses dikuliti oleh suara publik. Jokowi-Ahok yang mulanya ketar ketir suaranya menurun karena dengung pemimpin harus seiman dan makin jelasnya kalimat anti betawi pun bisa meraih kembali suara publik. Tim internal Jokowi Ahok pun mengakui hal ini. Ahok pun berhasil menahan diri untuk tidak menanggapi secara emosional "candaan" Nara dan lagi lagi mampu menampilkan citra "sabar" untuk lagi lagi meraih suara publik. Dimana mana ada akun yang menuliskan status menghina pasangan Jokowi Ahok, disitulah bermunculan suara suara publik yang akan menghakimi tanpa ampun si pemilik akun. Dari penguasaan terhadap suara publik inilah, awal dari 53% suara Jokowi Ahok untuk memenangkan Pemilihan Kepala Daerah 2012 DKI Jakarta.

Dengan kemenangan (versi quick count ) berbagai lembaga survei, bisa dipastikan bahwa Jokowi dan Ahok akan menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tidak hanya penduduk Jakarta saja yang bersuka ria, penduduk di luar daerah pun sama. Euforia kemenangan Jokowi dianggap dan dicatat berbagai partai politik menjadi bahan untuk bagaimana cara memenangkan suara rakyat di tahun 2014. Berbagai partai menyikapi hal ini secara serius, dan lonceng awal kematian partai yang tidak pernah memperjuangkan aspirasi rakyat. Berbagai partai semula berlawanan pun tiba tiba berwajah manis. Hal ini wajar dan biasa di dunia politik. Tak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.

Selamat untuk Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama. Suara Publik menunggu aksi anda. !!.









3 comments: