Saturday, February 23, 2013

Mi dernier





Ingatlah, tiap jejak yang telah lewat, kita sebut nostalgia. Kita pernah bersama merengkuh waktu yang kita sebut kenangan dan akan melewatinya dengan impian. Wajah yang kita miliki terlalu angkuh untuk mengakui apa yang kita ingin ungkapkan. Hati kita terlalu keras untuk mengakuinya sebagai sebuah keinginan. Dan kata impian, sudah cukup melukai apa yang kita inginkan.


Ingatlah, pertemuan kita di ujung horizon. Kita telah memulainya bersama. Kita sedang melewatinya bersama, dan seharusnya kita akan mengakhirinya bersama. Itu impian, hanya buih buih putih keinginan. Resah tak akan pulang, rindu yang akan menjelang.


Matahari akan terbit di horizon yang sama
setiap hari, berulang ribuan kali
sementara salju tetap akan berjatuhan di belahan bumi yang sama
di waktu yang sama
di tiap hembusan nafas yang sama
berulang ribuan kali


Aku sudah menghitung berapa daun yang gugur dan mengumpulkannya. Kau bisa memungutnya dan menghembuskan nafasmu di permukaanya. Di sanalah kenangan kenangan kita kan tetap hidup dan bernafas. Di sanalah nadiku akan tetap berdetak, dan rekaman syarafku akan tetap terus berputar, untuk kau dengarkan. Tulang dedaunan akan menjadi venaku, tangkainya akan menjadi jantungku. Dan jemarimu menjadi tali pusar yang menjalar di tubuhku. Bisa kau cium dan dekap bawa pulang, atau membiarkannya, hingga menguning kecoklatan lalu lebur menjadi hara yang kau telan.

Dan angin akan membuatnya bertaburan. Bayang bayang hujan akan menghapusnya.  Kabut akan membekukannya. Itulah jawaban mengapa ini semua hanya impian.

Kenanglah, rinduku dedaunan tertiup angin bertaburan.



Giessen, 23 februari 2013
Untuk salju dan matahari
En Rakkaus

Thursday, February 21, 2013

Karena aku bukan salju, dan kamu bukan matahari





"Mengapa semuanya terjadi begitu saja ? " tanyamu suatu hari saat aku baru saja selesai dengan mata kuliahku yang melelahkan. Tata aturan dan hukum internet. Apanya yang menarik dari mata kuliah ini bagiku. Aku sangat lelah, sangat. Mataku terasa menghilang dan aku tak melihat apapun kecuali rerumputan. Dan kau menambahkan daftar hal yang membuatku kesal hari itu.


"Mengapa salju datang begitu saja ?"  tanyamu lagi, tanpa sempat memberiku sejenak waktu untuk mendudukkan diriku sendiri. "Bahkan saat aku pagi pagi sudah bersiap dengan sepatu resmi  berhak sedang, salju datang tiba tiba, berhamburan berjatuhan tanpa komando, dan aku harus buru buru pulang dan menggantinya dengan boots hitam yang membutuhkan sedikit kesabaran untuk memakainya, karena ukuran kakiku yang mulai melebar." 


"Mengapa hujan turun begitu saja ?" tanyamu lagi, tanpa sempat memberiku sejenak waktu untuk membebaskan kakiku dari sepatu yang mulai terasa menyempit. " Aku hari ini tak membawa payung merah kesukaanmu, dan hujan turun tiba tiba saat aku berjalan di tepian ladang jagung yang baru saja panen di sana, hingga bajuku basah semua tanpa sempat aku melindunginya. Padahal aku ingin menunjukkan baju terbaruku yang aku janjikan dahulu. Tapi sudahlah, aku sudah mengabaikannya. 


" Mengapa matahari hari ini menampakkan dirinya begitu saja ? " tanyamu lagi, tanpa sempat memberiku sejenak waktu untuk merebahkan tubuhku di rerumputan. "Baru saja hujan selesai, matahari menampakkan dirinya tanpa menungguku menikmati tubuhku yang basah oleh hujan. Tanpa acuh. Tanpa sempat menoleh pada teriakanku menghentikannya sejenak. Padahal aku sudah berteriak teriak sekuatku. Mungkin urat leherku mendekati putus. Tapi tetap saja, dia mengacuhkanku," sungutmu tanpa menolehku.


"Mengapa katamu ? " tanyaku kembali. Kali ini aku tak ingin menyia nyiakan kesempatan untuk merebahkan tubuhku di rerumputan dan membiarkanmu mengkerucutkan wajahmu sendiri hingga tak tampak menarik lagi di depanku. 


" Akulah yang seharusnya bertanya mengapa, bukan dirimu. Mengapa kau tanyakan itu semua, padahal tanpa perlu aku menjawab pun, kau sudah mengetahuinya sendiri. Kau tak perlu menujukkan wajah kesalmu, kau sudah mengetahui alasannya sendiri. Aku belum sempat mengucapkan kata terbaik untuk ku ucapkan padamu, tapi kau sudah menghentikan itu semua, dengan pertanyaan pertanyaanmu."


"Kita sedang mengalami hal yang sama, sama sama mencari siapa yang datang setelah ada yang pergi. Kau bisa saja mengabaikanku, atau yang lainnya, tapi hari ini kau menanyakan semua, segala sesuatu tentang yang bisa datang, mungkin hanya untuk memastikan keteguhan hatimu akan  siapa yang pergi."


Kau hanya terdiam, hanya menyaksikanku mengomel dengan wajah tertengadah. Sulit menurutmu, mudah menurutku. 


" Kau lihat rerumputan itu, yang meringkuk, yang kedinginan, yang berwarna hijau terlalu muda. Tampaknya ia sakit bukan ? "

"Iya."


"Karena apa menurutmu  ? Salju ? iya tepat. Salju membuatnya kesakitan, tak bisa ber fotositesis, tak membiarkannya sejenak menikmati waktunya. Begitulah, begitulah mulanya semua ini berawal. Pengekangan akan waktu yang seharusnya bisa kau nikmati membuat kita sama sama merasa ada yang pergi sebelum ada yang akan datang lagi. Padahal sesungguhnya hanya masalah kesiapan saja salju turun tiba tiba, lalu hujan turun tiba tiba dan matahari muncul tiba tiba menghapus keduanya, dan kamu tak perlu meributkan tentang baju atau segala perlengkapannya. Mudah saja bukan ? " 


"Tak ada yang abadi yang bisa kau pegang hingga ke akhir segala janji. Tak ada yang bersatu hingga kau memecahnya satu satu. Tak ada yang bisa membuatnya berani, kecuali kau memegangnya secara teguh seperti para tirani."


" Dan aku, akan siap kehilangan semua itu, termasuk senyummu, yang akhir akhir ini mungkin akan hilang seperti lenyapnya salju oleh mentari. "


"Mengapa .......... ? " tanyamu lagi, sebelum aku potong dengan meletakkan telunjukku di depan bibirmu. 


"Karena aku bukan salju, dan kamu bukan matahari," bisikku pelan. Mungkin kamu mendengarnya.





Giessen, 22 February 2013
Untuk salju dan matahari.



Thursday, February 14, 2013

Sebut saja aku penggemarmu





Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu bicara dan mempertahankan pendapatmu (meski kau tahu itu salah) dengan cara perempuan mempertahankan argumennya di depan khalayak. Penggemar caramu menyiapkan jurus jurus maut yang membuatku kehabisan akal dan kau tersenyum penuh kemenangan.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu menunjukan perhatianmu pada sesuatu. Penggemar caramu membaca hingga menundukkan wajahmu, memaksa retina mu bekerja lebih keras untuk membedakan hijau dan biru. Penggemar caramu memperhatikan snow flakes dengan menepuk nepuk salju yang menempel di dinding gedung rumahmu, hingga para tetanggamu keheranan melihatmu.


Sebut saja aku penggemarmu, pengemar caramu menghibur diri menikmati masa masa patah hatimu dengan banyak bercerita dan tak mau berdiam diri (karena kau pasti memikirkannya). Penggemar caramu menghabiskan es krim lalu tak sadar sisa sisanya masih berkumpul di ujung bibirmu, dan kau tanpa sadar berbicara dengan banyak orang setelahnya, dan saat aku berusaha membersihkannya, kau menampik tanganku dengan mengacungkan jari telunjukmu di depanku.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu berjalan sambil menendang nendang kerikil kecil di tepian jembatan hingga kerikilnya berjatuhan ke sungai, dan kau tertawa setelahnya. Ku pikir itu tindakan yang aneh, tapi kau menganggapnya normal, lalu balik menuduhku aneh, karena tak mentertawakan ulahmu seperti yang lainnya.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu membaca buku buku manajemen sembari mencomot potongan kiwi segar dan meneguk jus wortel, kesukannmu. Penggemar caramu menceramahiku tentang bagaimana menjadi vegetarian, dan pentingnya menjaga berat badan bagi perempuan ( ini aku tak setuju )


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu tak mengacuhkanku dan tak mengindahkan perintahku, tetapi saat aku tak ada, sebenarnya kau melaksanakannya semua kan ? aku tahu itu. Penggemar caramu membantah dan tak pernah mau kalah dalam hal apapun.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu membuat perasaanku berantakan dengan membandingkanku dengan yang lain. Penggemar caramu menyengajakan bercerita tentang kelebihan ini dan itu, yang membuatku berkali kali jatuh, tapi kau membuatku keluar dari perangkap lagi.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu bermain dengan anak anak kecil, dan merelakan wajahmu dipukuli oleh mereka. Penggemar caramu melirikku sampai tak ada yang tahu kalau kau memperhatikanku, lalu aku cuma tersenyum sendiri dan kau menyadarinya, lalu dunia seperti membeku  dan tak bisa mencair lagi. Penggemar caramu tersenyum tanpa ada kesan manis sama sekali, dan aku tahu itu gayamu sehari hari.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu menutupi kegugupanmu saat berbicara denganku dengan memandang bibirku, bukan mataku. Penggemar caramu menulis di depan jendela, lalu aku berteriak teriak memanggilmu dari luar dan kau sengaja tak membukakan pintumu, membuatku menggigil kedinginan, lalu kau malah menyuruhku pulang saja.


Sebut saja aku penggemarmu, penggemar caramu memejamkan mata mengabaikan semuanya, lalu kau menangis saat kau merasa terbebani oleh semuanya. Penggemar caramu tersenyum yang melelehkan dunia. Penggemar caramu berpura pura tak terjadi apa apa.Penggemar caramu tertawa. Penggenar caramu menari, penggemar caramu mengacaukan keseimbangan semesta dan sistem syaraf pusatku dengan caramu memasang wajah manis berlesung pipi tersenyum di depanku. Aku lah penggemar mu, penggemar segalanya. 


Tapi jangan pernah anggap aku mencintaimu. Itu saja



Friday, February 8, 2013

Perempuan penghuni delta tepi lautan 3






Mungkin, ini adalah pertemuan yang menjadi pertengahan perjalanan kita masing masing. Saat kita sama sama tertawa karena kita mengenakan baju berwarna sama, atau sama sama salah menyebutkan nama masing masing. Atau, sama sama kesulitan untuk menyapa lebih dahulu,meski itu adalah hal yang paling mudah kulakukan, seharusnya. Seharusnya seperti itu. Seharusnya membicarakan mata kuliah dan angka angka sembari minum kopi hangat bersama, adalah yang yang paling mudah kulakukan, di depanmu, atau di hadapan mereka, dahulu.


Mungkin, ini adalah pertemuan yang merangkai potongan kisah kisah kita yang tak nampak, bahkan orang lain kesulitan mendeskripsikannya. Saat kau kesulitan mengeja namaku, dan aku kesulitan mengikuti caramu bicara, tapi kita sama sama tahu kalau kita sulit mengucap "hai"  satu sama lain semudah kita membicarakan orang yang selalu menjadi batas diantara kita.Padahal ini tidak sulit. Padahal melemparkan bola saju lalu berlari adalah hal yang paling mudah kulakukan padamu, di hadapan mereka, dahulu.


Mungkin, ini adalah pertemuan yang membuat kita sama sama kesulitan bicara, bahkan terkesan mendadak dan tanpa persiapan. Kesulitan, bahkan untuk menegurmu pun aku kesulitan mengucapkan namamu. Aku hanya tertawa, ya, tertawa menutupi kekakuan ruang kosong di antara kita. Laksana aku tak melihatmu dan kau duduk begitu jauh, diam tanpa suara. Dan aku tak bisa membuatmu bersuara. Tentu kau ingat saat mata kita pertama kali bertemu pun, tanpa ada yang merencanakan. Semudah itu, dan mata kita selalu bertemu tanpa perencanaan. Semestinya membuat bibirmu membentuk lengkungan paling manis yang melelehkan kawah dunia adalah hal yang bisa kulakukan untukmu, di hadapan mereka, dahulu.


Mungkin, ini adalah pertemuan yang memalukan yang pernah terjadi di antara kita. Semudah itu, semudah itu wajahmu bersemu merah. Dan aku tak bisa membelamu, menutupi semu merah di pipimu pun aku tak bisa. Aku hanya tertawa, ya, tertawa mempertahankan keadaan hati kita masing masing tetap tersembunyi, dan hanya hening malam dan suara suara butiran salju bersentuhan dengan kaca saat kita berdiri menatap jendela yang sama, yang mengerti, keadaan hari ini. Tak seharusnya seperti itu. Tak seharusnya kau tertunduk dan tak bisa bersuara sama sekali, dan aku kesulitan membelamu, melindungimu dari tertawaan ang tka biasa di hadapan mereka, dahulu.


Anggap aku kalah kali ini, bisa kau sebut seperti itu. Anggap aku tak berani berbicara lebih jauh. Anggap aku terlalu amatir untuk sesuatu yang kau sebut profesional. Anggap aku kesulitan menyusun kalimatku di depanmu. Anggap aku membisu. Anggap anggap anggap. Tapi jangan pernah berpikir aku tak bisa, apalagi untuk membuatmu kalah, suatu hari nanti, perempuan penghuni delta tepi lautanku.



Anggap aku yang mencintaimu, dan kamu, perempuan penghuni delta tepi lautanku, hanya cukup diam dan menunggu. Itu saja.